Sebagaimana keyakinan Aristoteles, dan para ilmuan politik lain yang menjelaskan bahwa politik tak lebih dari sekadar upaya untuk menghadirkan kebajikan dan kesejahteraan bagi masyarakat luas (Bonum Publicum and Commonwealth), menurut saya karena etika maha baik inilah yang membuat masyarakat ingin terlibat dalam politik, dan negara memfasilitasi niat baik ini dalam sebuah mekanisme yang kita kenal sebagai Pemilu.
Dalam konteks Pemilu, setidaknya ada dua perspektif yang bisa kita jadikan semacam bahan diskusi. Pertama dalam dunia pikiran, baik itu berupa teori, filsafat maupun aturan hukum. Dan yang kedua adalah alam realita yang hari ini menjadi highlight atau sorotan di tiap lapisan masyarakat.
Pemilu dalam tataran konseptual merupakan Sarana Kedaulatan Rakyat agar terlibat dalam menentukan pemimpin dan orang-orang yang secara yuridis menjadi wakil “nya” di dalam mengartikulasikan keinginan secara kolektif, ini biasa kita kenal sebagai wakil rakyat. Pemilu dalam tataran ini menawarkan segala hal baik yang apabila dilaksanakan akan membawa kesejahteraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam alam realita, pemilu menjadi isu yang bagi Sebagian masyarakat tak lebih dari sekadar ajang 5 tahunan layaknya piala dunia, yang setelah selesai tak berdampak apa-apa bagi kehidupanya. Sehingga banyak masyarakat yang jenuh, pesimis bahkan kehilangan harapan terhadap pemilu, bahkan tak jarang pemilu malah menghadirkan asap resistensi di tengah masyarakat, polemik berkepanjangan yang terbawa oleh arus tsunami perbedaan pandangan dan kepentingan saat pemilu. Pada hal-hal semacam ini pemilu menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Apa yang harus dilakukan agar pemilih tetap didalam fitrah dan garis edar idealnya, serta tidak membawa polemic ditengah masyarakat? sebenarnya sederhana dan tidak terlampau text book. Hanya membutuhkan satu gram kedewasaan masyarakat dalam memandang politik, yakni dengan menjadi pemilih cerdas.
Mewujudkan pemilih cerdas dalam pemilu adalah solusi terbaik dan realistis jika kita ingin menghadirkan iklim politik sejuk serta terhindar dari pelbagai polemic. selain itu, pemilih cerdas adalah instrumen yang menggerakan demokrasi ke arah substansial secara akseleratif. Tidak sekadar demokrasi hitam diatas putih yang procedural semata.
Secara lebih terperinci yang saya maksud sebagai pemilih cerdas adalah pemilih yang di dalam memandang, menganalisa hingga menentukan pilihan politik dalam pemilu bersumber dari kemandirian personal dengan pertimbangan rasional, serta tidak digerakan oleh emosi sesat yang terkadang di creat sedemikian rupa oleh politisi melalui sebuah pesan politik yang memecah belah, biasanya berbau sentimen rasial, dan kepercayaan,
Dengan kata lain, salah satu ukuran pemilih cerdas adalah mereka yang tidak mudah terprovokasi isu yang bernafas sentimen rasial maupun agama. Serta lebih mengedepankan aspek jangka Panjang berupa pemahaman visi-misi kandidat yang menawarkan diri di dalam pemilu. Sehingga pada akhirnya tercipta suasana politik yang lebih intelektual. Serta berfokus pada program-program terbaik.
Tentu saja, pemilih cerdas takan mungkin jadi dalam waktu singkat layaknya candi yang tak mungkin jadi dalam semalam, ia merupakan produk kerja keras dari penyelenggara pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, dan dalam pandangan saya apa yang dilakukan oleh KPU di tiap tingkatnya sudah berada di jalur yang tepat, selain perbaikan dalam tataran teknis penyelenggara, KPU juga berusaha mewujudkan pemilih cerdas melalui pelbagai macam upaya. yang paling mudah kita deteksi adalah upaya mensosialisasikan pemilu bagi masyarakat di tiap lapisannya, caranya bisa melalui kaderisasi maupun melibatkan badan adhoc yang tersedia.
Hal semacam ini yang menjadi konsen terutama bagi saya pribadi sebagai anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Murung Kabupaten Murung Raya yang membidangi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia bersama Ketua PPK dan anggota yang lain, agar bekerja maksimal sebagaimana arahan KPUD Kabupaten Murung Raya agar menjalankan tugas penyelenggaraan secara profesional, akuntabel tertib, proporsional, efektif, efisien serta jujur dan adil.
Sebagai seorang alumni Sospol, yang pernah menyelami Samudra idealitas politik serta mendaki lembah aktivis democracy, saya merasa memiliki tanggung jawab agar menjadi “Brahmana” yang tidak sekadar menyelenggarakan tahapan pemilu ditingkat kecamatan tetapi juga menghadirkan ide agar masyarakat memiliki pengayaan dan referensi politik yang baik, sehingga demokrasi bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan (Making Democracy work).
Pada akhirnya KPU tidak bisa mewujudkan niat baik ini seorang diri, ia membutuhkan dukungan dari pilar demokrasi yang lain, pers melalui jurnalistik yang berkeadilan, civil society melalui dukungan nonpartisan, hingga yang paling terpenting adalah partai politik yang mempunyai tugas sebagai public educator yang meng agregasi ide, oleh karena itu diharapkan agar menjalankan proses Pendidikan politik internal kader maupun bakal calegnya agar menjadi politisi intelektual yang memiliki tanggung jawab moral mencerdaskan pemilih bukan sekadar syahwat berkuasa.
Saya percaya hanya dengan kerja kolektif dan kolosal seperti ini pemilih cerdas bisa diwujudkan, dan pemilu pada akhirnya menjadi momen menyatukan segala macam niat baik serta mengakumulasikan semua harapan masyarakat. -Hasta La Victoria Siempre.