SAMPIT, RAKYATKALTENG.com – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) terus mendorong peningkatan produktivitas sawit rakyat dengan mengupayakan pengadaan bibit kelapa sawit unggul untuk para petani pekebun.
Langkah ini diambil dalam rangka untuk merespon terhadap masih banyaknya petani yang menanam dengan bibit tidak jelas asal-usulnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kotim, Sepnita mengatakan bahwa Bupati setempat telah mengarahkan agar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025 dialokasikan anggaran untuk pengadaan bibit sawit berkualitas.
“Minat petani untuk menanam sawit cukup tinggi. Tapi tantangannya adalah bibit yang mereka pakai banyak yang tidak bersertifikat. Ini sangat memengaruhi hasil panen,” jelas Sepnita, Jumat (2/5/2025).
Menurutnya, bibit sawit ilegal atau tidak tersertifikasi menyebabkan produktivitas tanaman rendah, jauh dari harapan pemerintah agar petani bisa memperoleh hasil minimal 2,5 ton per hektare.
“Selain berdampak pada hasil panen, hal ini juga memengaruhi pendapatan petani dalam jangka panjang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sepnita menilai bahwa program pengadaan bibit unggul ini memang sudah lama dinantikan petani. Apalagi di tengah tren harga sawit yang masih stabil tinggi, potensi keuntungan dari perbaikan bibit sangat besar.
“Kalau program ini bisa dijalankan, akan berdampak langsung pada kesejahteraan petani dan perekonomian daerah,” ucapnya.
Data sementara menunjukkan luas perkebunan sawit rakyat di Kotim mencapai sekitar 130.000 hektare. Namun, Dinas Pertanian berencana melakukan pendataan ulang di lapangan untuk memastikan data riil, sekaligus mengaitkan dengan perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) sawit yang diterima daerah.
Sementara itu, program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dinilai belum berjalan optimal. Salah satu kendala utama adalah banyaknya lahan sawit rakyat yang berada di kawasan hutan, padahal syarat utama program PSR adalah lahan harus berada di area penggunaan lain (APL).
“Banyak petani yang tidak bisa mengakses program PSR karena syarat administratifnya cukup ketat. Ini tantangan yang perlu dicarikan solusi,” tutupnya. (RK1)