Menanti Perlawanan Heriyus – Rahmanto terhadap ASN Pembelot di Pilkada 2024

Bupati dan Wakil Bupati Murung Raya Heriyus - Rahmanto Muhidin masing-masing didampingi istri saat penyambutan baru tiba di Bandara Dirung Lingkin pada Senin (3/3/2025).

PURUK CAHU, RAKYATKALTENG.com – Geram dan gersang mungkin demikian bisa digambarkan perasaan Heriyus – Rahmanto Muhidin. Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Murung Raya terpilih periode 2025-2030 yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas putusan dismissal Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP) 2024 pada 4 Februari 2025 lalu.

Kondisi demikian menyusul terdapat sejumlah catatan hitam oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Murung Raya yang diduga terlibat politik praktis menaruh dukungan kepada lawan politik Heriyus – Rahmanto pada Pilkada Murung Raya yang digelar 27 November 2024 lalu.

Menyoal aroma bakal terjadinya reshuffle atau perombakan jabatan besar-besaran di tubuh organisasi Pemda Murung Raya, dibuktikan pada Enouement yang diperlihatkan Heriyus – Rahmanto pada acara Rapat Kerja perdana bersama Pemerintah Daerah yang digelar di Gedung Pertemuan Umum (GPU) Tira Tangka Balang Puruk Cahu, Senin (10/3/2025).

Meski rapat tersebut sedang membahas mengenai efisiensi anggaran, guna memastikan penggunaan anggaran yang lebih efektif dan tepat sasaran. Tidak membuat Wakil Bupati Rahmanto Muhidin lupa dengan perjuangan “berdarah-darah” pada Pilkada lalu.

Apalagi pasangan dengan Jargon Hebat mencium adanya ketidaknetralan ASN dalam pesta demokrasi tersebut.
Berbicara dengan nada tinggi dan tegas, Rahmanto meminta agar tidak adanya matahari kembar. Matahari hanya satu. Semua pejabat disini loyalitasnya hanya kepada bapak Heriyus sebagai Bupati Murung Raya periode 2025-2030. Celetuk Rahmanto.

Dalam suasana yang hening tanpa ada percakapan dari puluhan para pejabat yang hadir terdiri dari Sekda, Asisten, Kepala Dinas, Badan, Kantor, Camat hingga Lurah itu.

Lagi-lagi, Rahmanto menghentakan perasaannya. Terlihat kesal, bercampur marah. Meski tetap terkontrol. Mantan Wakil Ketua II DPRD Murung Raya periode 2019-2024 ini sempat terdiam sebentar. Kembali mengutarakan mereka telah mengantongi nama-nama ASN yang tidak netral dan memihak ke calon lain.

Jika mereka melakukan reshuflle di lingkup Pejabat Pemkab Murung Raya, maka jangan dianggap sebagai hukuman. Anggap saja itu sebagai konsekuensi politik.

Ketidaknetralan sejumlah ASN yang memiliki pangkat dan golongan tinggi di Kabupaten Murung Raya, tentu sudah menjadi rahasia umum.

Sumber media ini menyebutkan, adanya keterlibatan oknum ASN yang berpolitik pada pesta demokrasi beberapa waktu lalu itu merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Bahkan jika terjadinya reshuffle tentu yang bersangkutan harus secara lapang dada menerima. Atas dasar konsekuensi, tindak tanduk dari keputusan politik.

Berbicara netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada adalah tema yang sering menjadi perdebatan antara fakta dan opini.

Pemahaman serta penerapan netralitas ASN ini penting untuk mengetahui bagaimana ASN berperan dalam proses politik lokal serta dampaknya terhadap demokrasi. ASN yang netral dapat memberikan pelayanan publik yang lebih baik tanpa adanya diskriminasi berdasarkan preferensi politik.

Meskipun terdapat aturan yang jelas, dalam praktiknya, menjaga netralitas ASN sering kali menjadi tantangan, terutama di daerah-daerah dengan politik yang sangat kental.

Beberapa ASN mungkin merasa tertekan untuk mendukung calon tertentu karena kedekatan pribadi atau situasi di lingkungan kerja, atau faktor budaya dan kesamaan persepsi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, sanksi pelanggaran netralitas ASN berupa pelanggaran disiplin dapat berujung pada hukuman disiplin sedang, seperti pemotongan Tunjangan Kinerja (Tukin) sebesar 25% selama 6, 9, atau 12 bulan.

Selain itu, hukuman disiplin berat dapat berupa penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan, pembebasan dari jabatan selama 12 bulan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, atau bahkan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

ASN yang terbukti melanggar prinsip netralitas bisa dikenakan sanksi disiplin, mulai dari teguran hingga pemecatan, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun, opini publik sering kali meragukan efektivitas pengawasan terhadap ASN dimusim Politik baik di Pemilihan Legislatif, Pilkada hingga Pilpres. Beberapa pihak berpendapat bahwa sanksi yang diberikan tidak selalu cukup tegas, atau bahwa proses penegakan hukum tidak berjalan secara konsisten. Hal ini memunculkan persepsi bahwa aturan netralitas ASN tidak diterapkan dengan efektif.

Fakta bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran netralitas ASN perlu ditingkatkan merupakan pandangan luas di kalangan masyarakat dan praktisi hukum.

Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses ini dapat membantu mengatasi keraguan tentang efektivitas aturan yang ada. Penting untuk terus mengevaluasi serta meningkatkan mekanisme pengawasan netralitas ASN

Memastikan aturan diterapkan secara konsisten dan efektif akan membantu menjaga integritas pemerintah serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses politik.

Di sisi lain, memahami dan menangani opini publik terkait penerapan netralitas ASN dapat memberikan wawasan berharga untuk memperbaiki sistem yang ada.

ASN memainkan peran penting sebagai perekat dan pemersatu bangsa. ASN bertanggung jawab menjalankan kebijakan pemerintah serta memberikan layanan publik secara adil dan merata.

Dengan melaksanakan tugasnya secara profesional dan objektif, ASN membantu memastikan berbagai kebijakan serta program pemerintah dapat diterima dan bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan.

Masih soal ketidaknetralitas ASN di Murung Raya. Kata sumber media ini lagi, sejumlah oknum pejabat mulai mendatangi kediaman Bupati Murung Raya Heriyus dan Wakil Bupati Rahmanto Muhidin.

Selain untuk memberikan ucapan selamat dan sukses atas pelatikan sebagai Bupati dan Wakil Bupati oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025 lalu, juga alih-alih sebagai upaya klarifikasi terhadap isu yang berkembang adanya keberpihak pada Pilkada lalu.

Upaya lobi ini sangat wajar, selain menunjukan loyalitas kepada pimpinan juga sebagai bentuk tindakan koordinasi dan komunikasi antaran bawahan dan pimpinan.

Menyoal Waktu Enam Bulan Bagi Kepala Daerah Terpilih untuk Lantik Pejabat Daerah. Sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dilansir di laman mkri.id berita tanggal 5 Maret 2025.

Aparatur Sipil Negara bernama Paber SC Simamora mempertanyakan keberadaan kepala daerah terpilih yang tidak diperbolehkan melakukan penggantian pejabat daerah enam bulan sejak pelantikannya dan harus mendapatkan persetujuan menteri.

Melalui Perkara Nomor 2/PUU-XXIII/2025 ini, Pemohon mengujikan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri”. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Pemohon mengatakan bahwa keberadaan Gubernur, Bupati dan Walikota yang bertindak sebagai atasan sekaligus kepala pemerintah pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota ini memiliki kewenangan yang sama dengan menteri dan pimpinan lembaga lain sebagaimana diatur dalan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Sehingga kewajiban memperoleh persetujuan dari Menteri Dalam Negeri bagi kepala daerah untuk melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintah darerah dinilai tidak sesuai dengan norma Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

“Tidak ada kepastian hukum pada Pasal 162 ayat (3) karena UU Pilkada seharusnya mengatur seluruh tahapan Pemilihan Kepala Daerah yang berakhir pada saat Penyelenggara Pemilu, sehingga tindakan Kepala Daerah yang telah dilantik bukan lagi menjadi kewenangan hukum dari UU Pilkada,“ jelas Paber secara daring dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra pada Rabu (5/3/2025).

Terlebih lagi, keberadaan Bupati sebagai Kepala Pemerintahan di Kabupaten merupakan Pejabat Pembina Kepegawaian sejak diangkat dalam jabatannya berhak untuk melaksanakan tugas Pembina terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil di wilayah pemerintahannya, tanpa harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Kewenangan sebagai Pejabat Pembina tersebut tertuang dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karenanya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 162 ayat (3) UU Pilkada tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon.

Bahkan norma tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan memajukan kesejahteraan atas jabatan baru yang diamanahkan karena harus menunggu enam bulan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

“Berdasarkan segenap argumentasi yang telah diuraikan di atas, maka Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi memutus Permohonan a quo, dengan amar putusan sebagai berikut: Mengabulkan permohonan Pemohon; Menyatakan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukummengikat. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” ucap Paber membacakan petitum permohonannya. (RK1)

Penulis: Reno